Soal: Apa yang dimaksud dengan bersikap pertengahan atau wasathiyyah dalam beragama?
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin رحمه الله menjawab: Bersikap pertengahan dalam beragama atau yang juga disebut wasathiyyah maksudnya adalah seseorang berada di pertengahan, tidak bersikap berlebih-lebihan tidak pula bersikap acuh dan menyepelekan. Masuk dalam hal ini perkara-perkara ilmiah dan aqidah, masuk pula hal-hal yang bersifat amaliah (amalan secara praktis) dan ibadah.
Dalam hal aqidah, bila dikaitkan dengan asma Allâh dan sifat-sifat-Nya, manusia terbagi menjadi tiga kelompok: dua kelompok yang bertolak belakang, dan satu kelompok pertengahan antara keduanya.
Satu kelompok yang berlebih-lebihan (ekstrim) dalam mensucikan Allâh سبحانه وتعالى ; sehingga menafi kan dari Allâh apa-apa yang Allah namakan dan sifatkan Diri-Nya dengannya.
Kelompok lain berlebih-lebihan pula dalam menetapkan; sehingga mereka menetapkan untuk Allâh nama-nama dan sifat-sifat yang Allâh tetapkan untuk Diri-Nya; namun dengan meyakini adanya keserupaan dengan yang ada pada makhluk.
Kelompok lain adalah yang ada di pertengahan. Mereka menetapkan bagi Allâh سبحانه وتعالى nama-nama dan sifat-sifat yang Allâh tetapkan untuk Diri-Nya, tanpa meyakini adanya kesamaan atau keserupaan dengan makhluk. Akan tetapi dengan meyakini itu semua berbeda dengan yang ada pada makhluk; dan bahwa tidak ada sesuatupun dari makhluk-Nya yang menyerupai Allâh سبحانه وتعالى .
- Kelompok Pertama:
Mereka yang berlebihan dalam mensucikan Allâh. Yaitu mereka yang mengatakan bahwa Allâh سبحانه وتعالى tidak disifati kecuali dengan sifatsifat yang mereka tentukan atau batasi. Mereka mendakwa (mengklaim) bahwa akal menunjukkan hal tersebut; sedangkan sifat-sifat selain itu tidak bisa ditetapkan untuk-Nya. Karena akal –menurut sangkaan mereka- tidak menunjukkan hal tersebut. Misalnya saja mereka menetapkan sifat irâdah (kehendak) bagi Allâh. Mereka berkata: sesungguhnya Allâh سبحانه وتعالى itu Murîd (Yang berkehendak). Akan tetapi mereka menafi kan sifat rahmat bagi-Nya. Mereka berkata: Makna rahmat adalah ihsân (berbuat baik), atau menghendaki kebaikan (irâdatul ihsân); bahwa rahmat bukan sifat bagi Allâh سبحانه وتعالى . Sehingga kita dapatkan mereka ini telah salah; di mana mereka menafi kan apa yang telah Allâh sifatkan terhadap Diri-Nya. Bahkan mereka menafi kan apa-apa yang akal menunjuk padanya secara lebih jelasdaripada apa yang ditunjukkan akal atas apa yang mereka tetapkan. Penetapan mereka terhadap sifat irâdah dengan metode logika adalah bahwa mereka mengatakan: bahwa mengkhususkan makhluk dengan hal yang menjadi kekhususannya; seperti misalnya: ini langit, ini bumi, ini unta, ini kuda, ini lelaki dan ini perempuan; pengkhususan ini menunjukkan irâdah (kehendak) dari Allâh al-Khaliq, bahwa Dia l menghendaki sesuatu itu sesuai dengan kriterianya, maka itupun terjadi. Maka kita katakan kepada mereka: bahwa indikasi nikmat Allâh سبحانه وتعالى dan dihalaunya siksa Allâh; itu menunjukkan sifat rahmat,, lebih dari apa yang ditunjukkan oleh pengkhususan (seperti tersebut sebelum ini) atas sifat irâdah (kehendak-Nya). Akan tetapi meski demikian, mereka menafi kan rahmat dari Allâh, dan menetapkan sifat irâdah; berdasarkan pada adanya syubhat (kerancuan) yang ada pada mereka.
- Kelompok Kedua:
Mereka yang berlebihan dalam menetapkan sifat-Nya. Mereka adalah orang yang menyerupakan Allâh dengan makhluk. Mereka berkata: kami menetapkan sifat-sifat bagi Allâh; akan tetapi dengan adanya keserupaan dengan makhluk. Mereka ini sesat dan lupa dengan firman Allâh سبحانه وتعالى :
لَيْسَ كَمِثْلِهٖ شَيْءٌ ۚ
Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, (QS. Asy-Syura/42:11)
- Kelompok Ketiga: Kelompok Pertengahan.
Mereka berkata: kami menetapkan bagi Allâh سبحانه وتعالى setiap nama dan sifat yang Allâh tetapkan untuk Diri-Nya dalam kitab-Nya, atau dalam hadits yang shahih dari Rasûlullâh ﷺ ; dengan disertai keyakinan bahwa itu semua tidak sama dengan yang ada pada makhluk. Dan bahwa apa yang ditetapkan bagi Allâh tersebut, berbeda dengan apa yang ada pada makhluk. Sesungguhnya apa yang ditetapkan bagi Allâh سبحانه وتعالى itu lebih sempurna dan lebih tinggi. Seperti fi rman Allâh سبحانه وتعالى :
لِلَّذِيْنَ لَا يُؤْمِنُوْنَ بِالْاٰخِرَةِ مَثَلُ السَّوْءِۚ وَلِلّٰهِ الْمَثَلُ الْاَعْلٰىۗ وَهُوَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ ࣖ
Dan Allâh mempunyai sifat yang Maha Tinggi; dan Dia-lah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. An-Nahl/16:60)
ini untuk masalah terkait aqidah.
Adapun terkait amalan amaliah, ada orang yang ekstrim bersikap berlebih-lebihan. Ia menambah dan memberat-beratkan atas dirinya. Ada pula orang yang menyepelekan dan mengabaikan; sehingga ia banyak menyianyiakan amalan. Dan sebaik-baik perkara adalah yang pertengahan.
Pertengahan dalam masalah ini kaidah atau pedoman bakunya adalah: apa yang datang dari syariat, maka itulah yang namanya wasath (pertengahan). Adapun yang bertentangan dengan syariat, maka itu bukanlah pertengahan. Akan tetapi itu melenceng; yaitu melenceng pada tindakan berlebih-lebihan, atau melenceng pada tindakan menyepelekan dan mengabaikan.
Syaikhul Islam رحمه الله telah menyebutkan dalam kitabnya al-Aqidah al-Wâsithiyyah 5 prinsip dasar. Di sana beliau menjelaskan bahwa ahlussunnah adalah pertengahan di antara kelompok-kelompok ahli bid’ah. Sungguh bagus bila penanya merujuk ke kitab tersebut dikarenakan adanya faidah yang tersebut di sana.
(Fatawa Nur Ala ad-Darb; Syaikh Utsaimin t ; 1/ 36)